“Meoong,
Meong, Meong…”
(Aku IKUT Bersamamu.
. . .)
Meskipun
dia sangat lelah, tetapi Jasmin tidak akan tega untuk meninggalkanku sendiri di
teras luar rumah. Dia pun akhirnya menggendongku serta memeluk erat tubuhku
yang gemuk dan mengelus-elus kepalaku. Dia membawaku ikut serta dengannya
kedalam rumah. “Kamu pasti sudah lapar ya?, ooohh meongku yang lucu”. Katanya
kepadaku. “meoong, meong, meoong
(ooohhhh, tubuhku sangat gemuk, aku tercekik tapi aku suka kamu mengelus
kepalaku seperti ini)”, teriakku kepadanya. Jasmin meletakkanku didekat kursi
meja makannya, dan langsung mengambil segelas susu dan sereal rasa ikan tuna.
Sesuai tebakanku, diapun langsung menuangkan segelas susu itu kedalam mangkuk
besarku dan menambahkannya sereal kesukaanku itu. Oh, betapa bahagianya aku,
serasa melayang-layang di atas awan yang tebal. Aku langsung memutari
mangkukku, dan tentu saja langsung menyantap makanan lezat itu yang mungkin
mengalahkan lezatnya pizza kesukaan orang-orang. Jasmin sendiri merebus mie
instan yang ada di lemarinya. Dia memberikanku makanan yang sangat lezat dan
dia sendiri memakan makanan instan yang membosankan itu. Seolah-olah dia
bekerja hanya untuk membiayai makananku saja.
Umurku
memang sudah tidak mudah lagi, sudah hampir delapan tahun aku menemani Jasmin
di rumah mungil ini. Saat dia masih berumur 11 tahun dan umurku sendiri 1 tahun
pada saat itu. Aku dipisahkan dari ibuku dan dititipkan disini bersama Jasmin oleh kakek karena pada
saat itu Jasmin sangat sedih sepeninggal kedua orang tuanya karena kecelakaan
mobil. Aku sangat kasihan padanya, dan pada saat itu juga aku berjanji untuk
tidak akan pernah meninggalkannya. Dan akhirnya kami pun tinggal berdua saja
dirumah yang mungil ini setelah sebelumnya ada nenek yang menemani kami.
Jarum
panjang jam di dinding tertuju pada angka 12 dan jarum pendeknya sendiri berada
di angka 9, itu tandanya malam sudah mulai larut, tidak biasanya Jasmin
mengajakku tidur di tempat tidurnya setelah tujuh tahun sebelumnya dia dilarang
oleh dokternya untuk membawaku serta kekamar tidurnya. “Malam ini aku mau kamu
tidur dikamarku, menghangatkan kakiku dengan bulumu yang lembut ini”, katanya
kepadaku sambil membelai kepalaku dan meletakkanku di ujung tempat tidurnya.
Aku dengan senang hati tidur dibawah kakinya, meringkuk dan mendengkur lembut
agar tidak menggangunya.
Jasmin
terbangun pagi harinya. Melalui jendelanya yang rendah dengan tirai manik-manik,
sinar matahari menerobos masuk dan menyilaukan mataku. Dengan hati-hati Jasmin
turun dari tempat tidurnya, membuka pintu dan keluar. Dia tidak menyadari kalau
aku menggeliat bangun dari sisi ujung tempat tidur dan membuntutinya dari
belakang. Aku langsung menggesekkan tubuhku yang hangat dikakinya yang dingin.
Tepat jam 8 pagi, dia berangkat meninggalkan rumah, dan tentu saja berpamitan
denganku lebih dahulu. Selang beberapa menit, terdengar suara ribut-ribut dari
jalan raya depan rumah. Aku keluar melihat situasi apa yang sedang terjadi, dan
ternyata sebuah kecelakaan tragis terjadi, kulihat sebuah mobil truk berada
disisi jalan dengan posisi yang tidak biasa, dan terdapat satu korban yang
telah ditutupi kain oleh orang-orang. Entah siapa dibalik kain tersebut, aku
tidak tau, dan aku tidak mau tau.
Sudah
waktunya Jasmin pulang, saatnya untuk
aku ke teras depan rumah dan menunggunya. Tidak biasanya aku menunggu selama
ini, jam sudah menunjukkan pukul 8 malam, tapi tidak nampak seorangpun dari
balik pagar. Aku terus menunggunya hingga larut malam, dan dia pun tidak nampak
sama sekali. Hari demi hari kulalui tampanya, dan aku masih terus saja menunggunya
karena aku yakin dia pasti akan datang.
Badanku sudah mulai mengurus, buluku tak terawat lagi, makananku sudah terganti
menjadi binatang liar yang kadang-kadang tidak ada sama sekali. “meong, meong,
meong (tidak ada kah yang peduli padaku?), meoooong (apa gerangan yang terjadi
terhadap Jasmin?) meongngng (Apa dia melupakanku?)”, ratapku dalam tangis. Dua
minggu telah berlalu, dan akhirnya pagar rumah terbuka juga, aku sangat bahagia
dan melompat turun dari teras tanpa menghiraukan kalau disitu ada tangga yang
bisa dilalui. Betapa kecewanya aku mendapati orang di balik pagar itu ternyata
bukan Jasmin melainkan majikan Merry tentangga sebelah yang jarang berkunjung
kesini. “kamu pasti kucing disini, malang sekali nasib majikanmu harus pergi
semudah itu dan seteragis itu. Aku mau saja membawamu tapi aku sudah punya
Merry, lagi pula kamu kucing yang tidak punya daya tarik, kurus dan tak terawat”,
katanya padaku. Hatiku terasa tercabik-cabik mendengar semua itu, bukan karena
dia mengataiku melainkan karena penyesalan mengapa aku tak mau tau siapa
dibalik kain waktu itu. Jasmin ternyata
dibawa langsung kerumah kerabatnya dan tidak ada yang memberi tahuku,
seolah-olah kucing tidak perlu untuk tahu. Dan akhirnya aku sendiri disini, aku
berniat untuk mengikuti Jasmin dan menabrakkan diri dengan truk di jalan raya
“besok” agar aku dapat bersamanya terus.
*SEKIAN
DAN SALAM MEONG*