Labels

Senin, 10 September 2012

Cerita kucing


“Meoong, Meong, Meong…”
(Aku IKUT Bersamamu. . . .)

Senja telah  datang menyapa sang malam. Aku masih saja terus menunggunya di tangga depan teras rumah. “Mocy”, begitulah panggilan sayangnya kepadaku.  Dia sangat menyayangiku karena aku sangat tampan, dengan bulu coklat belang putih dan mata besarku yang menyerupai mata burung hantu, tubuhku juga gemuk berbulu lebat dan lembut sehingga tidak akan ada orang yang rela membuangku. Kalaupun ia membuangku, akan ada banyak orang yang berebut untuk mengambilku. “Jasmin”, begitulah ia dipanggil oleh teman-temannya. Tubuhnya tinggi dan ramping, sembilan belas setengah tahun, dengan  rambut lurus hitam legam dan mata yang berwarna coklat, dia sosok yang mandiri. Hampir setiap hari aku menunggunya di sini, dan akhirnya ia pun terlihat dari balik pagar yang terbuka, raut mukanya menggambarkan dengan jelas kalau dia sangat lelah hari ini. Aku langsung menyambutnya dengan menyentuhkan tubuhku di mata kakinya. “meoong, meong, meoong (apa kau sangat lelah hari ini?)”, tanya ku kepadanya. Tentu saja ia tak mengerti apa yang aku maksud. “oh Mocy ku sayang, aku terlalu lelah untuk menemanimu bermain sekarang”, katanya kepadaku. Aku bisa mengerti itu, karena dia bekerja dari pagi sampai sore. Dia sering mengatakan kepadaku kalau dari jam 08.00 pagi sampai jam 02.00 siang, dia kuliah dan setelahnya dia bekerja di kafe dekat kampusnya. Aku tidak mengerti apa yang dimaksudnya kuliah, tapi aku tahu kalau kafe adalah tempat dimana ada banyak makanan lezat, dan kampus adalah gedung yang sangat tinggi dan ada banyak orang yang berlalu lalang disana, entah apa yang mereka lakukan ditempat setinggi itu.
Meskipun dia sangat lelah, tetapi Jasmin tidak akan tega untuk meninggalkanku sendiri di teras luar rumah. Dia pun akhirnya menggendongku serta memeluk erat tubuhku yang gemuk dan mengelus-elus kepalaku. Dia membawaku ikut serta dengannya kedalam rumah. “Kamu pasti sudah lapar ya?, ooohh meongku yang lucu”. Katanya kepadaku.  “meoong, meong, meoong (ooohhhh, tubuhku sangat gemuk, aku tercekik tapi aku suka kamu mengelus kepalaku seperti ini)”, teriakku kepadanya. Jasmin meletakkanku didekat kursi meja makannya, dan langsung mengambil segelas susu dan sereal rasa ikan tuna. Sesuai tebakanku, diapun langsung menuangkan segelas susu itu kedalam mangkuk besarku dan menambahkannya sereal kesukaanku itu. Oh, betapa bahagianya aku, serasa melayang-layang di atas awan yang tebal. Aku langsung memutari mangkukku, dan tentu saja langsung menyantap makanan lezat itu yang mungkin mengalahkan lezatnya pizza kesukaan orang-orang. Jasmin sendiri merebus mie instan yang ada di lemarinya. Dia memberikanku makanan yang sangat lezat dan dia sendiri memakan makanan instan yang membosankan itu. Seolah-olah dia bekerja hanya untuk membiayai makananku saja.
Umurku memang sudah tidak mudah lagi, sudah hampir delapan tahun aku menemani Jasmin di rumah mungil ini. Saat dia masih berumur 11 tahun dan umurku sendiri 1 tahun pada saat itu. Aku dipisahkan dari ibuku dan dititipkan  disini bersama Jasmin oleh kakek karena pada saat itu Jasmin sangat sedih sepeninggal kedua orang tuanya karena kecelakaan mobil. Aku sangat kasihan padanya, dan pada saat itu juga aku berjanji untuk tidak akan pernah meninggalkannya. Dan akhirnya kami pun tinggal berdua saja dirumah yang mungil ini setelah sebelumnya ada nenek yang menemani kami.
Jarum panjang jam di dinding tertuju pada angka 12 dan jarum pendeknya sendiri berada di angka 9, itu tandanya malam sudah mulai larut, tidak biasanya Jasmin mengajakku tidur di tempat tidurnya setelah tujuh tahun sebelumnya dia dilarang oleh dokternya untuk membawaku serta kekamar tidurnya. “Malam ini aku mau kamu tidur dikamarku, menghangatkan kakiku dengan bulumu yang lembut ini”, katanya kepadaku sambil membelai kepalaku dan meletakkanku di ujung tempat tidurnya. Aku dengan senang hati tidur dibawah kakinya, meringkuk dan mendengkur lembut agar tidak menggangunya.
Jasmin terbangun pagi harinya. Melalui jendelanya yang rendah dengan tirai manik-manik, sinar matahari menerobos masuk dan menyilaukan mataku. Dengan hati-hati Jasmin turun dari tempat tidurnya, membuka pintu dan keluar. Dia tidak menyadari kalau aku menggeliat bangun dari sisi ujung tempat tidur dan membuntutinya dari belakang. Aku langsung menggesekkan tubuhku yang hangat dikakinya yang dingin. Tepat jam 8 pagi, dia berangkat meninggalkan rumah, dan tentu saja berpamitan denganku lebih dahulu. Selang beberapa menit, terdengar suara ribut-ribut dari jalan raya depan rumah. Aku keluar melihat situasi apa yang sedang terjadi, dan ternyata sebuah kecelakaan tragis terjadi, kulihat sebuah mobil truk berada disisi jalan dengan posisi yang tidak biasa, dan terdapat satu korban yang telah ditutupi kain oleh orang-orang. Entah siapa dibalik kain tersebut, aku tidak tau, dan aku tidak mau tau.
Sudah waktunya Jasmin pulang,  saatnya untuk aku ke teras depan rumah dan menunggunya. Tidak biasanya aku menunggu selama ini, jam sudah menunjukkan pukul 8 malam, tapi tidak nampak seorangpun dari balik pagar. Aku terus menunggunya hingga larut malam, dan dia pun tidak nampak sama sekali. Hari demi hari kulalui tampanya, dan aku masih terus saja menunggunya karena aku yakin dia pasti  akan datang. Badanku sudah mulai mengurus, buluku tak terawat lagi, makananku sudah terganti menjadi binatang liar yang kadang-kadang tidak ada sama sekali. “meong, meong, meong (tidak ada kah yang peduli padaku?), meoooong (apa gerangan yang terjadi terhadap Jasmin?) meongngng (Apa dia melupakanku?)”, ratapku dalam tangis. Dua minggu telah berlalu, dan akhirnya pagar rumah terbuka juga, aku sangat bahagia dan melompat turun dari teras tanpa menghiraukan kalau disitu ada tangga yang bisa dilalui. Betapa kecewanya aku mendapati orang di balik pagar itu ternyata bukan Jasmin melainkan majikan Merry tentangga sebelah yang jarang berkunjung kesini. “kamu pasti kucing disini, malang sekali nasib majikanmu harus pergi semudah itu dan seteragis itu. Aku mau saja membawamu tapi aku sudah punya Merry, lagi pula kamu kucing yang tidak punya daya tarik, kurus dan tak terawat”, katanya padaku. Hatiku terasa tercabik-cabik mendengar semua itu, bukan karena dia mengataiku melainkan karena penyesalan mengapa aku tak mau tau siapa dibalik kain  waktu itu. Jasmin ternyata dibawa langsung kerumah kerabatnya dan tidak ada yang memberi tahuku, seolah-olah kucing tidak perlu untuk tahu. Dan akhirnya aku sendiri disini, aku berniat untuk mengikuti Jasmin dan menabrakkan diri dengan truk di jalan raya “besok” agar aku dapat bersamanya terus.
*SEKIAN DAN SALAM MEONG*

2 komentar: